Kamis, 26 September 2013

Penyesalan tak pernah datang tepat waktu


Dicintai saat ini bukan lagi hal baru yang harus diberi tepuk tangan meriah. Dicintai menginjak dewasa sudah mengerti yang mana yang lebih menarik. Dicintai saat usia genap enam belas tahun tidak lagi harus ditangisi, tidak lagi harus mengadu tentang pejatuh hati yang begitu ambisius, begitu memaksa, dan sangat berlebihan. 

Semuanya ingin mengerti takarannya, semuanya ingin dibiasakan, semuanya tidak ingin berlebihan. Lalu, seperti apa yang sewajarnya?

Untuk bisa dicintai seseorang harus mampu membangun kesempurnaan dirinya untuk bisa mensejajarkan kritera yang lebih unggul dari yang unggul. Mungkin berlebihan tapi bukankan umumnya perempuan selalu melebih-lebihkan? Atau menyembunyikan kejelekan yang pasti kita punya. Memalsukan atau merahasiakan. Demi terpampang indah namanya untuk seseorang disana, tanpa lecet, tanpa luka, tanpa kusut sedikitpun; terlihat lebih menarik.

Ketika seseorang datang memuji, sering bertemu bahkan setiap hari, disanalah mata bertemu mata yang lain, 
disanalah tangan menjabat tangan yang lain. jarak menghampiri 2 meter, melempar senyum dengan harapan mendapat balasan yang lebih manis. Meski terlihat canggung atau merasa risih. Disanalah aku merasacukup pantas untuk dicintai, dari sisi lain akupun merasakan kesukaran dihati, risih atau semacamnya. Disanalah aku merasa cantik dan mewarni.

Tapi salah, bahkan aku terlihat bodoh untuk dicintai. Aku terlihat bodoh untuk mengetahui. Dan aku terlihat bodoh untuk menjawab secepat ini. Dengan sangat membenci aku benci dicintai, dengan sangat membenci aku benci perasaan hati ini. Dengan sangat membenci aku benci siapapun yang mencintaiku. Karena setelahnya akan ada jarak yang jauh lebih sakit dari kata benci; mungkin memusuhi. Mendekat lalu menghindar, datang kemudian pergi, mengungkapkan lalu menolak.

Tentangnya, kabar kanan kiri sudah kudengar. Tentangnya, kebiasaan jelas-jelas aku melihatnya. Dan tentangnya, sifat disana sangat hafal aku membacanya. Kali ini bukan lagi menduga-duga. Kali ini bukan lagi mengira-ngira. Semuanya terlihat jelas lewat matanya; tulus, meyakinkan, penuh harapan namun lekas membenci. Mengata-ngata, bercuap-cuap, lalu meninggalkan. Semuanya tersimpan banyak lewat ingatanku.

Kemudian, aku membencinya. Aku benci penjelasan rinci hati ini. Aku benci tidak ada yang peduli, aku benci tidak ada yang percaya, aku benci hanya aku yang merasakannya. Kemudian, aku benci harus menjawab, aku benci harus membenci perasaan sendiri, dan aku benci hadirnya waktu telah menyelipkan kisah yang terlanjur rumit dihati, tanpa tega.

Kalau bisa aku tadahkan hujan yang jatuh, aku rela sebagai wadah tampungannya, agar tidak terlihat bersedih di permukaan. Kalau bisa aku tuduhkan air mata yang menetes, aku siap memcacinya, agar suatu saat mata ini Nampak lebih tegar untuk meluncurkan sakit yang mendalam.

Jam disana terlanjur memeluk pada dindingnya. Detik disana terlanjur berputar bersama menitnya. Perkataanku terlanjur tajam mengiris hatinya, tatapanku terlanjur kejam membuang tatapannya, semuanya tidak bermaksut kecuali membuang waktu yang mengulas kisah tiada henti.

Aku sudah menyangka klimaks dari semua perbuatanku. Aku sudah menduga kisah tertutup perasaan itu. Aku sudah percaya suatu saat cepat kembali bukan untuk diriku. Dan aku percaya perasaan semewah itu tidak aka nada lagi yang melebihkan darinya. Semua karena  perasaan ketenangan hati.
Disisi lain kebaikan selalu mengarah untukku, mulai mempercayainya, mulai menerimanya, lalu semakin memikirkannya.

Terang bulan saat itu menyaksikan semua senyuman yang aku lambungkan tanpa takut sedikitpun. Kuning cahayanya mengundang tatapan syukur untuk-Nya.

Kedekatan di bulan itu, cukup lama kami lakonkan. Bertukar sudut pandang, bertukar pengalaman,bertukar keinginan dan banyak bercerita. Mungkin sangat jarang untuk aku jabarkan diatas lembar putih yang seharusnya tetap memutih. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kak boleh tanya?