Dicintai saat ini bukan lagi hal baru yang harus
diberi tepuk tangan meriah. Dicintai menginjak dewasa sudah mengerti yang mana
yang lebih menarik. Dicintai saat usia genap enam belas tahun tidak lagi harus
ditangisi, tidak lagi harus mengadu tentang pejatuh hati yang begitu ambisius,
begitu memaksa, dan sangat berlebihan.
Semuanya ingin mengerti takarannya,
semuanya ingin dibiasakan, semuanya tidak ingin berlebihan. Lalu, seperti apa
yang sewajarnya?
Untuk bisa dicintai seseorang harus mampu membangun
kesempurnaan dirinya untuk bisa mensejajarkan kritera yang lebih unggul dari
yang unggul. Mungkin berlebihan tapi bukankan umumnya perempuan selalu
melebih-lebihkan? Atau menyembunyikan kejelekan yang pasti kita punya.
Memalsukan atau merahasiakan. Demi terpampang indah namanya untuk seseorang
disana, tanpa lecet, tanpa luka, tanpa kusut sedikitpun; terlihat lebih
menarik.
Ketika seseorang datang memuji, sering bertemu
bahkan setiap hari, disanalah mata bertemu mata yang lain,
disanalah tangan
menjabat tangan yang lain. jarak menghampiri 2 meter, melempar senyum dengan
harapan mendapat balasan yang lebih manis. Meski terlihat canggung atau merasa
risih. Disanalah aku merasacukup pantas untuk dicintai, dari sisi lain akupun
merasakan kesukaran dihati, risih atau semacamnya. Disanalah aku merasa cantik
dan mewarni.
Tapi salah, bahkan aku terlihat bodoh untuk
dicintai. Aku terlihat bodoh untuk mengetahui. Dan aku terlihat bodoh untuk
menjawab secepat ini. Dengan sangat membenci aku benci dicintai, dengan sangat
membenci aku benci perasaan hati ini. Dengan sangat membenci aku benci siapapun
yang mencintaiku. Karena setelahnya akan ada jarak yang jauh lebih sakit dari
kata benci; mungkin memusuhi. Mendekat lalu menghindar, datang kemudian pergi,
mengungkapkan lalu menolak.
Tentangnya, kabar kanan kiri sudah kudengar. Tentangnya,
kebiasaan jelas-jelas aku melihatnya. Dan tentangnya, sifat disana sangat hafal
aku membacanya. Kali ini bukan lagi menduga-duga. Kali ini bukan lagi
mengira-ngira. Semuanya terlihat jelas lewat matanya; tulus, meyakinkan, penuh
harapan namun lekas membenci. Mengata-ngata, bercuap-cuap, lalu meninggalkan.
Semuanya tersimpan banyak lewat ingatanku.
Kemudian, aku membencinya. Aku benci penjelasan
rinci hati ini. Aku benci tidak ada yang peduli, aku benci tidak ada yang
percaya, aku benci hanya aku yang merasakannya. Kemudian, aku benci harus
menjawab, aku benci harus membenci perasaan sendiri, dan aku benci hadirnya
waktu telah menyelipkan kisah yang terlanjur rumit dihati, tanpa tega.
Kalau bisa aku tadahkan hujan yang jatuh, aku rela sebagai
wadah tampungannya, agar tidak terlihat bersedih di permukaan. Kalau bisa aku
tuduhkan air mata yang menetes, aku siap memcacinya, agar suatu saat mata ini
Nampak lebih tegar untuk meluncurkan sakit yang mendalam.
Jam disana terlanjur memeluk pada dindingnya. Detik disana
terlanjur berputar bersama menitnya. Perkataanku terlanjur tajam mengiris
hatinya, tatapanku terlanjur kejam membuang tatapannya, semuanya tidak
bermaksut kecuali membuang waktu yang mengulas kisah tiada henti.
Aku sudah menyangka klimaks dari semua perbuatanku. Aku
sudah menduga kisah tertutup perasaan itu. Aku sudah percaya suatu saat cepat
kembali bukan untuk diriku. Dan aku percaya perasaan semewah itu tidak aka nada
lagi yang melebihkan darinya. Semua karena
perasaan ketenangan hati.
Disisi lain kebaikan selalu mengarah untukku, mulai
mempercayainya, mulai menerimanya, lalu semakin memikirkannya.
Terang bulan saat itu menyaksikan semua senyuman yang aku
lambungkan tanpa takut sedikitpun. Kuning cahayanya mengundang tatapan syukur
untuk-Nya.
Kedekatan di bulan itu, cukup lama kami lakonkan. Bertukar
sudut pandang, bertukar pengalaman,bertukar keinginan dan banyak bercerita.
Mungkin sangat jarang untuk aku jabarkan diatas lembar putih yang seharusnya
tetap memutih.