Kamis, 15 Agustus 2013

Hujan yang angkuh

February 2, 2013 at 5:08am
By : Dahlil Tiyas Prabandari

Ku biarkan kakiku melangkah menuju tempat dimana entah. Mencoba menghilangkan sejenak penat yang selama ini berkerubung lantaran beban skripsi yang harus ku selesaikan dalam waktu 2 bulan ini. Bersender merilekskan pada luas putih yang menyeruak ombak sampai letih benar-benar tersterilkan.

Terik menyengat kulit dan menyambut panasnya dengan sangat menyilaukan pandanganku. Sedikit menoreh sebelah sudut kiriku. Disana aku terus memaku sepasang insan yang kembali membuatku tersendu. Aku luncurkan senyum haru sampai menitikkan air mataku.

Entah kapan mereka mengentaskanku pada situasi melankolis ini. Sambil mengutik kedua tanganku sampai merasakan ganjalan pada benda yang tersemat pada jari manis kananku. Seketika melepaskan pada porosnya lalu menatap setiap inci cerita yang terpaut pada benda putih lingkar kecil ini.

Kembali tersirat pada pikiran yang kini mengusikku. Terlintas bayangan seseorang yang dulu menyematkan cincin ini pada jemariku. Acapkali ku tuahkan sebutannya lagi seperti terdorong ke dalam masa silam nan kelam dan tersungkur pada jurang kepiluan. Aku memang salah menepis cita cintaku yang terlampau jauh. Sejauh mana aku hempaskan asa yang berasa selalu saja tak bertepi pada hilir. Kalau seperti ini kapan aku berjalan ke roma! Gerutuku.

***

Kini dalam genggaman eratku menuju air menerjang kaki yang semakin selutut. Aku pejamkan kedua mata lalu meyakinkan tindakanku kini. Aku menghela nafas perlahan lalu mengayunkan tangan kananku sambil melontarkan benda yang sempat ku eratkan. Bulir ini kembali menetes sampai jatuh bercampur dengan asinnya air laut.

Senja masih kupijakkan sampai sunset menampak jelas indahnya. Pada suasana pantai sundak yang semakin sunyi aku berdiri melawan arah ombak yang mendesir permukaan sambil merentangkan kedua tanganku merasakan semilirnya dan aroma ketenangan yang baru saja menelusuri sekejur tubuhku. Lalu kembali memfokuskan panorama didepanku.

‘Ckrrik’

Aku merasa ada kilatan lampu flash dari sudut kananku, tampaknya seseorang mengambil fotoku diam-diam. Baru saja aku mulai menikmati ketentraman suasana hati dan batinku. Rasanya seperti merenggut sehela nafas dariku. Kuacuhkan saja terus terpejam menekuri ketenanganku.
‘’ Jangan memotretku lagi! ‘’ Tandasku langsung terdiam.

***

Hujanmu menghujamku
Deras tibamu sekilat tinggalkanku
Menyisakan rintik ribuan belati
Menunggu redah entah dirimu jumpa.
Cintaku adalah hujan
Bersemayam pada lapang tandus
Menyerap gersang sampai merindu kemarau. Aku bergeming.

***

Merasakan langkah yang semakin mendekatiku. Bak dentuman keras yang menghalau penghayatanku. Sayup-sayup ku dengar helaan nafas yang merdu tepat disampingku. Sedikitpun tak berniat menanggapi tingkah yang mungkin bertambah meningkat.

‘’ Kau boleh menghapusnya. ‘’

Aku mendengus kesal lantaran tandas saja tak cukup menjauhkan gerak tubuhnya terhadapku. Kini kududuki hamparan pasir yang terlanjur memutih. Melihat geriknya menyodorkan kamera SLR padaku.

‘’ Simpan saja. ‘’ Jawabku singkat.

Lalu mensejajarkan posisi singgahku sambil memotret sunset yang semakin menghilang. Terus berkutik seperti seorang proporsional seantero jagad. Sempat kucuri celah untuk menyimaknya, berpenampilan simple nan elegan dengan rambut menjuntai sebahu sontak aku terbelalak menyadarkan kesamaan atas keduanya. Lalu melangkah menjauh dari pandangku.

***

Hiruk-pikuk suasana kelas sangat menjenuhkan sampai ku lampiaskan dengan toresan tinta pada selembar kertas buram berisikan celotehan dalam relung hatiku. Kata demi kata yang sudah terlabuh dengan rapih tersusun menjadi notes sajak ku.

Bebas tanpa arah kau lakukan
Tak peduli pada siapa kau tindaskan.
Lama cinta menghinggapi keyakinan.
Tapi satu langkahmu sama dengan beribu sayatku.
Masihkah layakmu kutunggu ?

‘’ Kalau suka PING!! Ya. ‘’ Ku kirim via broadcast. Mengharap balasan pada insan yang terlanjur menjadi perempuan.

PING!!

Sempat ku lambungkan senyum dengan palung kecil nan dalam di pipiku. Ku sangka perempuan yang paling
merespon kata kegalauan yang teramat, tapi salah. Ku ulurkan kembali senyum itu setelah mengetahui balasan dari akun dengan nama “Hafidz Pancasinggih.’’ kemudian terkekeh membaca chat box yang dia kirim bertulisan :

‘’ tak selamanya menunggu itu layak.’’

Aku tak menggubris pesannya, lantaran perkataan itu menyepelekan dengan sangat singkat seperti pahlawan kesiangan yang tak tau-menau situasi yang kualami.

‘’Invite aja 23261042, orang yang ramah itu Indah.’’ Lanjutnya memerintahku.

***

Kini aku duduk bersandar diantara keramaian terminal A1 kedatangan domestik, dengan memampangkan seribu
celah bahagia dari mimik wajahku terus melirik pada arloji yang terpasang dipergelangan tanganku. Menunggu wanita yang kini menjabat sebagai kekasihku selama 2 bulan ini. Sambil mengingat perkenalan yang cukup membuatku tersentak. Masih sangat mengingatnya.

Sempat aku menguras otakku dalam-dalam pasalnya keganjalan pada DP yang jelas terpampang bukanlah perempuan melainkan seorang pria bahkan aku merasa mengenalnya. Dengan beribu pertanyaan yang terlibat dalam perkataan itu telah memintaku kembali memikirkan bait yang melambungkan kata ‘Indah yang ramah’ cukup membuatku bulat menambahkannya pada kontak BBM-ku. setelahnya lampu LED ponselku langsung berkedip-kedip dan terkesiap aku membacanya.

‘’terima kasih sudah invite. Salam kenal aku Indah.’’

‘’ sama-sama ndah. Aku Dimas.’’ Kataku segera.

Perkenalan pertama yang biasa kulakukan. Seterusnya hanya pertemanan biasa sampai perbincangan yang semakin pribadi. Sampai kini aku merasa benih-benih cinta kian menjalar pada hati yang kembali terpenjara pada kata cinta yang membelenggu masing-masing insan, terpanah sampai terkulai dengan lemasnya hingga terjatuh pada curam juram asmara. Sampai kami merencanakan pertemuan pertama.

***

Ditemani bias lampu yang memancar sinarnya yang kunang-kunang. Aku melipat sila dudukku disebuah bibir pantai sundak kembali aku tuahkan sebuah cerita. Aku lontarkan jauh-jauh tatapanku pada garis pantai yang mendesir angin sampai permukaan.

‘’ Hai! Kau sedang apa? ’’

‘’ Menunggu seseorang.’’

Singkatku menjawab kalimat yang telah menyekat perandaianku. Tanpa melirik sedikitpun pada sumber suara yang kudengar.

‘’ Dimas ya?’’Langsung menongkak kearahnya.

‘’ Iya, Indah? ‘’ Lanjutku menebar palung kecil pada rekahan senyumku.

Langsung mensejajarkan posisi dudukku. Menatap lurus pada riak gelombang yang terombang semakin menerjang hamparan pasir dengan kilau kristalnya. Berebut udara yang kian terasingkan oleh asin yang menepis.
Wajahnya memang tak asing lagi bagiku, kurasa dia memang pernah kulihat saat pertemuan pada bibir pantai saat itu. Seseorang yang sengaja memotretku karena posisiku yang menyatu pada objek. Lesung pipi yang memalung pada pipinya yang merona membuatku semakin terpesona.

Hembusan angin membiarkan kami tetap mempertahankan bungkaman di mulut masing-masing. Hingga tangan menyapu pada kedua lengan yang tidak tetutup oleh sehelai kain tebal. Sampai aku memutuskan kata itu sekarang.

‘’ Ndah, mau nggak jadi pacarku? ‘’

Kataku melesat dengan cepatnya, mungkin aku menakutinya sampai membuatnya sedikit bergidik. tanpa ada aba-aba yang memperindah keputusanku. Sungguh aku sudah tak kuat berlama-lama terpasung pada gulita yang menerkam benih cinta yang lalu. Aku memang tak lihai dalam hal merakit waktu mungkin detik ini waktu yang merakitku kembali melonjakan hasrat rasa yang dapat mengelabui keluh kesah asaku.

Namun derasnya pandai meminta waktuku. Kembali datang menyambar kesempatan atau mungkin bentuk derai yang menuju pada suasanaku. Tubuhku menjadi payung bagi hujan yang berlarian menuju kepalanya mencari tempat persinggahan nan nyaman. Setelahnya sampai kurasa genggaman semakin menguatkan eratannya, menoreh pada lengkung wajah anggun yang sedang menganggukan dengan tarikan di sudut bibirnya yang mengisyaratkan keberhasilan waktu melihaikan cita cintaku kini.

Permadani hitam menghampar luas di altar langit
Gemerlap malam memercik bait cinta
Menimbun banyak benih yang terus bersubur dalam dada
Kini bersama hujan dengan rintiknya
Kembali angkuh menyapu puing-puing derita menjauh pada diri
Silih berganti rasi-rasi hujanmu melukis segurat senyum pada bibir lampauku
Melambung dengan manisnya sampai tersemai lagi dalam cita cintaku.
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kak boleh tanya?