Kamis, 15 Agustus 2013

puber-puber cabe rawit

PUBER-PUBER CABE RAWIT
Dahlil Tiyas Prabandari
“Siap?”

Senyumku tiba mendarat lebih manis. Dengan sangat apik aku mengatur rasa sabar yang terbalut penasaran itu. Namun tetap saja dia meragu, semakin asyik menekuri pikirannya yang mungkin terlampau jauh. Entah setan apa yang menggodanya padahal bukan apa ini tetaplah permainan! Sampai bibir mungilnya itu nampak berbicara pelan dan agak lama. Sedang apa dia?

“Mungkin dia memanjatkan doa!”

Lugas kalimat sari. Perempuan berperawakan tinggi persis dengan prestasinya yang tiba-tiba melonjak tinggi akhir ini.

“Suuuuttt….diam Sari!” Potong Nisa cepat.

Hingga suasana benar tersterilkan disana. Tak satu pun kalimat terkoar setelahnya. Sampai tersisa antara yang itu, nampak serius mengerjakan dengan guratannya masing-masing. Begitupun aku, sibuk memikirkan apa yang akan kutulis untuk pena ini.

“Hmmm…Cita-cita…Curahan hati…atau bahkan Dambaan hati sekalipun bebas saja bukan, tetap RAHASIA!”
Cemas kalimat Nadia dibalas anggukan Devani.

“Tapi ini danau kecil! kalau mengambang terus melabuh dipinggir bagaimana?!” Tambah Nisa dengan tatapan khas yang dibuatnya.

Ia mengernyitkan dahi tak mengerti ketika mendapatkan teman-temannya lantas tertawa terbahak-bahak. Lengkung wajah takut ala Nisa memang cukup menggelitikkan perut kami, entah kenapa hanya dia yang punya? Eits.. atau memang rahasia disana teramat mewah untuk dijabarkan diatas air tenang ini?

“Apa?! Kenapa?! Lucu ?!” lantang Nisa mengentaskan dengan agak geram.

“Kamu berani menyentuh sesuatu yang jelas mengambang di air?”  Kalimat Sari kembali memecah gelak tawa.

Desir angin di hari yang terik ini cukup mendapatkan kami menyapu wajah masing-masing, beruntungnya kami berlindung dibawah pohon besar yang cukup teduh. Di waktu yang agak senggang setelah pulang sekolah, kami haturkan lelah pelajaran itu sembari bermain sebentar di rindangnya pohon yang sengaja menghadap danau. Tidak begitu jauh, masih aman untuk si seragam putih merah ini.

“Masih ada yang ganjal di hati, terus?”

Keraguan Nisa semakin berlanjut, sementara mereka semakin dalam melahap naskah sendiri.

Entah seperti apa permainan mereka yang seumuran dengan kami. Entah siapa yang mengganggap kami dewasa atau sebaliknya tapi kenyataannya kami layaknya orang tua yang kekanak-kanakan atau bahkan masa bahagia kurang kecil (?) Begitulah kami menyimpulkan masa puber. Seperti ini salah satunya; Mengganti bentuk diary menjadi catatan kertas kecil diatas danau, entah namaya konyol, kurang kerjaan  atau sebangsanya tapi banyak orang suka menjadikannya sesuatu yang indah bahkan romantic. What Ever!

“Ayolah Nis! Disini Cuma menulis apa rencana kamu setelah lulus SD, uneg-uneg, atau bahkan perasaan yang kamu pendem selama ini. It’s OK…. Se-pinter pinternya kamu saja!” Tegas Nadia yang mulai sebal.

Malah Nisa memicingkan matanya. Mungkin ekspresi seperti itu yang aku tuliskan untuk pena ini, sebagai catatan hal terunik yang pernah aku lihat untuk detik ini! Mereka semua menggemaskan.

Belum sampai sepuluh menit, aku menangkap mata mata nakal. Berhadapan saling membalas interaksi, begitupun pesan gerak bibir mereka, seperti mengaba-aba namun aku tak menggubris adegan unik itu, cukup kuumpatkan senyum kecil saja.

“Selesai! Perahunya?” Umbar Devani membuat semuanya terpesona.

“Bagus van….bagus perahu kamu.” Takjub sosok Sari sembari menyumbang tepuk tangan meriahnya.

“Bagus apaan sih Sar…yang selesai itu tulisannya, bukan perahu!” Jawabnya kemudian menepuk jidat sendiri.

KreekK…T0Ok…ToooKk…took….KreEkkEk…

Kami lantas tertawa terbahak-bahak, menyaksikan ulah seseorang yang jenaka atau bahkan ajaib. Dengan perawakan cukup tinggi, putih jugak sipit bak orang luar negeri tapi dapat ia tutupi dengan segala kesederhanaannya sampai benar-benar pangling aku menganggapnya orang cantik yang berbakat dalam perkulian, Yap…bakat pahat-memahat, pukul-memukul memang tak diragukan, mungkin inilah rahasia yang membuatnya gundah gulana karena tak ingin dituliskannya, atau mungkin dia tak mau mengumbar-umbarkan bakat proporsionalnya(?)

“Nis, itu bakal apa?” tanya salah seorang yang begitu penasaran.

“Perahu buat kertas kita! Baguskan idea gue?” Semangat Nisa yang sangat ambisius menyelesaikan program pribadinya; Perahu coklat yang agak tebal juga jatuh tak jauh dari pohonnya, masih di sekitar danau. Cukup brilliant untuk detik ini, menyumbang senyum lalu menekuri tulisanku.

Sampai waktu yang mengindahkan beberapa jam sebelumnya. Melelahkan benar, tapi untuk hasil yang memuaskan hati kenapa tidak? Kami sangat bahagia diatas tenangnya air yang baru kami berangkatkan; menyaksikan perahu coklat kami yang melaju dengan sentosa, semoga dermaga disana tidak begitu jauh untuk titik lelah perahu kami berlayar, seterusnya sampai dermaga berikutnya, walau di dasar sekalipun letaknya dermaga terakhir itu semoga tak akan bersandar terlalu lama sampai benar-benar menemui tempat labuh untuk melempar jangkar dengan kokohnya. Begitupun perumpaan perjalanan kami si seragam putih merah; puber-puber cabe rawit.

Tiba aku yang memicingkan mata ini, mungkin mereka yang tidak tau keberadaan perahu itu sendiri, kulihat berlabuh sangat terpinggirkan setelah hari itu. Hanya melepas senyum kecil se-sering mungkin di atas kertas basah yang mulai luntur dengan waktu.

Aku tak sangka alasan mereka berdua saling bertukar kerdipan mata, hanya membuatku semakin memecah gelak tawa; sandi kotak yang mereka jabarkan di atas kertas putih yang mulai kusam. Pikirku kenapa tidak aku menggunakan sandi rumput atau bahkan morse (?)

Sayang, hanya perahu milikku yang sedari itu aku tak melihatnya, diantara perahu mereka yang berlabuh saling berdekatan. Hingga sekarang, aku tak tau bersandar dimana perahu coklat itu. Yang jelas, perjalanan dan semangat kami akan terus berlayar menghadap dunia yang luas.

“SIAP!”

Hingga kuakhiri tatapan nanar-ku sembari menghadap pada hangatnya sekitar sini untuk memelukku, danau.

END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kak boleh tanya?