February 2, 2013 at 5:08am
By : Dahlil Tiyas Prabandari
Ku
biarkan kakiku melangkah menuju tempat dimana entah. Mencoba
menghilangkan sejenak penat yang selama ini berkerubung lantaran beban
skripsi yang harus ku selesaikan dalam waktu 2 bulan ini. Bersender
merilekskan pada luas putih yang menyeruak ombak sampai letih
benar-benar tersterilkan.
Terik menyengat kulit dan
menyambut panasnya dengan sangat menyilaukan pandanganku. Sedikit
menoreh sebelah sudut kiriku. Disana aku terus memaku sepasang insan
yang kembali membuatku tersendu. Aku luncurkan senyum haru sampai
menitikkan air mataku.
Entah kapan mereka mengentaskanku
pada situasi melankolis ini. Sambil mengutik kedua tanganku sampai
merasakan ganjalan pada benda yang tersemat pada jari manis kananku.
Seketika melepaskan pada porosnya lalu menatap setiap inci cerita yang
terpaut pada benda putih lingkar kecil ini.
Kembali
tersirat pada pikiran yang kini mengusikku. Terlintas bayangan
seseorang yang dulu menyematkan cincin ini pada jemariku. Acapkali ku
tuahkan sebutannya lagi seperti terdorong ke dalam masa silam nan kelam
dan tersungkur pada jurang kepiluan. Aku memang salah menepis cita
cintaku yang terlampau jauh. Sejauh mana aku hempaskan asa yang berasa
selalu saja tak bertepi pada hilir. Kalau seperti ini kapan aku
berjalan ke roma! Gerutuku.
***
Kini dalam
genggaman eratku menuju air menerjang kaki yang semakin selutut. Aku
pejamkan kedua mata lalu meyakinkan tindakanku kini. Aku menghela nafas
perlahan lalu mengayunkan tangan kananku sambil melontarkan benda yang
sempat ku eratkan. Bulir ini kembali menetes sampai jatuh bercampur
dengan asinnya air laut.
Senja masih kupijakkan sampai
sunset menampak jelas indahnya. Pada suasana pantai sundak yang semakin
sunyi aku berdiri melawan arah ombak yang mendesir permukaan sambil
merentangkan kedua tanganku merasakan semilirnya dan aroma ketenangan
yang baru saja menelusuri sekejur tubuhku. Lalu kembali memfokuskan
panorama didepanku.
‘Ckrrik’
Aku merasa ada
kilatan lampu flash dari sudut kananku, tampaknya seseorang mengambil
fotoku diam-diam. Baru saja aku mulai menikmati ketentraman suasana hati
dan batinku. Rasanya seperti merenggut sehela nafas dariku. Kuacuhkan
saja terus terpejam menekuri ketenanganku.
‘’ Jangan memotretku lagi! ‘’ Tandasku langsung terdiam.
***
Hujanmu menghujamku
Deras tibamu sekilat tinggalkanku
Menyisakan rintik ribuan belati
Menunggu redah entah dirimu jumpa.
Cintaku adalah hujan
Bersemayam pada lapang tandus
Menyerap gersang sampai merindu kemarau. Aku bergeming.
***
Merasakan
langkah yang semakin mendekatiku. Bak dentuman keras yang menghalau
penghayatanku. Sayup-sayup ku dengar helaan nafas yang merdu tepat
disampingku. Sedikitpun tak berniat menanggapi tingkah yang mungkin
bertambah meningkat.
‘’ Kau boleh menghapusnya. ‘’
Aku
mendengus kesal lantaran tandas saja tak cukup menjauhkan gerak
tubuhnya terhadapku. Kini kududuki hamparan pasir yang terlanjur
memutih. Melihat geriknya menyodorkan kamera SLR padaku.
‘’ Simpan saja. ‘’ Jawabku singkat.
Lalu
mensejajarkan posisi singgahku sambil memotret sunset yang semakin
menghilang. Terus berkutik seperti seorang proporsional seantero jagad.
Sempat kucuri celah untuk menyimaknya, berpenampilan simple nan elegan
dengan rambut menjuntai sebahu sontak aku terbelalak menyadarkan
kesamaan atas keduanya. Lalu melangkah menjauh dari pandangku.
***
Hiruk-pikuk
suasana kelas sangat menjenuhkan sampai ku lampiaskan dengan toresan
tinta pada selembar kertas buram berisikan celotehan dalam relung
hatiku. Kata demi kata yang sudah terlabuh dengan rapih tersusun menjadi
notes sajak ku.
Bebas tanpa arah kau lakukan
Tak peduli pada siapa kau tindaskan.
Lama cinta menghinggapi keyakinan.
Tapi satu langkahmu sama dengan beribu sayatku.
Masihkah layakmu kutunggu ?
‘’ Kalau suka PING!! Ya. ‘’ Ku kirim via broadcast. Mengharap balasan pada insan yang terlanjur menjadi perempuan.
PING!!
Sempat ku lambungkan senyum dengan palung kecil nan dalam di pipiku. Ku sangka perempuan yang paling
merespon
kata kegalauan yang teramat, tapi salah. Ku ulurkan kembali senyum itu
setelah mengetahui balasan dari akun dengan nama “Hafidz
Pancasinggih.’’ kemudian terkekeh membaca chat box yang dia kirim
bertulisan :
‘’ tak selamanya menunggu itu layak.’’
Aku
tak menggubris pesannya, lantaran perkataan itu menyepelekan dengan
sangat singkat seperti pahlawan kesiangan yang tak tau-menau situasi
yang kualami.
‘’Invite aja 23261042, orang yang ramah itu Indah.’’ Lanjutnya memerintahku.
***
Kini aku duduk bersandar diantara keramaian terminal A1 kedatangan domestik, dengan memampangkan seribu
celah
bahagia dari mimik wajahku terus melirik pada arloji yang terpasang
dipergelangan tanganku. Menunggu wanita yang kini menjabat sebagai
kekasihku selama 2 bulan ini. Sambil mengingat perkenalan yang cukup
membuatku tersentak. Masih sangat mengingatnya.
Sempat aku
menguras otakku dalam-dalam pasalnya keganjalan pada DP yang jelas
terpampang bukanlah perempuan melainkan seorang pria bahkan aku merasa
mengenalnya. Dengan beribu pertanyaan yang terlibat dalam perkataan itu
telah memintaku kembali memikirkan bait yang melambungkan kata ‘Indah
yang ramah’ cukup membuatku bulat menambahkannya pada kontak BBM-ku.
setelahnya lampu LED ponselku langsung berkedip-kedip dan terkesiap aku
membacanya.
‘’terima kasih sudah invite. Salam kenal aku Indah.’’
‘’ sama-sama ndah. Aku Dimas.’’ Kataku segera.
Perkenalan
pertama yang biasa kulakukan. Seterusnya hanya pertemanan biasa sampai
perbincangan yang semakin pribadi. Sampai kini aku merasa benih-benih
cinta kian menjalar pada hati yang kembali terpenjara pada kata cinta
yang membelenggu masing-masing insan, terpanah sampai terkulai dengan
lemasnya hingga terjatuh pada curam juram asmara. Sampai kami
merencanakan pertemuan pertama.
***
Ditemani
bias lampu yang memancar sinarnya yang kunang-kunang. Aku melipat sila
dudukku disebuah bibir pantai sundak kembali aku tuahkan sebuah cerita.
Aku lontarkan jauh-jauh tatapanku pada garis pantai yang mendesir angin
sampai permukaan.
‘’ Hai! Kau sedang apa? ’’
‘’ Menunggu seseorang.’’
Singkatku menjawab kalimat yang telah menyekat perandaianku. Tanpa melirik sedikitpun pada sumber suara yang kudengar.
‘’ Dimas ya?’’Langsung menongkak kearahnya.
‘’ Iya, Indah? ‘’ Lanjutku menebar palung kecil pada rekahan senyumku.
Langsung
mensejajarkan posisi dudukku. Menatap lurus pada riak gelombang yang
terombang semakin menerjang hamparan pasir dengan kilau kristalnya.
Berebut udara yang kian terasingkan oleh asin yang menepis.
Wajahnya
memang tak asing lagi bagiku, kurasa dia memang pernah kulihat saat
pertemuan pada bibir pantai saat itu. Seseorang yang sengaja memotretku
karena posisiku yang menyatu pada objek. Lesung pipi yang memalung pada
pipinya yang merona membuatku semakin terpesona.
Hembusan
angin membiarkan kami tetap mempertahankan bungkaman di mulut
masing-masing. Hingga tangan menyapu pada kedua lengan yang tidak
tetutup oleh sehelai kain tebal. Sampai aku memutuskan kata itu
sekarang.
‘’ Ndah, mau nggak jadi pacarku? ‘’
Kataku
melesat dengan cepatnya, mungkin aku menakutinya sampai membuatnya
sedikit bergidik. tanpa ada aba-aba yang memperindah keputusanku.
Sungguh aku sudah tak kuat berlama-lama terpasung pada gulita yang
menerkam benih cinta yang lalu. Aku memang tak lihai dalam hal merakit
waktu mungkin detik ini waktu yang merakitku kembali melonjakan hasrat
rasa yang dapat mengelabui keluh kesah asaku.
Namun
derasnya pandai meminta waktuku. Kembali datang menyambar kesempatan
atau mungkin bentuk derai yang menuju pada suasanaku. Tubuhku menjadi
payung bagi hujan yang berlarian menuju kepalanya mencari tempat
persinggahan nan nyaman. Setelahnya sampai kurasa genggaman semakin
menguatkan eratannya, menoreh pada lengkung wajah anggun yang sedang
menganggukan dengan tarikan di sudut bibirnya yang mengisyaratkan
keberhasilan waktu melihaikan cita cintaku kini.
Permadani hitam menghampar luas di altar langit
Gemerlap malam memercik bait cinta
Menimbun banyak benih yang terus bersubur dalam dada
Kini bersama hujan dengan rintiknya
Kembali angkuh menyapu puing-puing derita menjauh pada diri
Silih berganti rasi-rasi hujanmu melukis segurat senyum pada bibir lampauku
Melambung dengan manisnya sampai tersemai lagi dalam cita cintaku.