Kamis, 26 September 2013

Penyesalan tak pernah datang tepat waktu


Dicintai saat ini bukan lagi hal baru yang harus diberi tepuk tangan meriah. Dicintai menginjak dewasa sudah mengerti yang mana yang lebih menarik. Dicintai saat usia genap enam belas tahun tidak lagi harus ditangisi, tidak lagi harus mengadu tentang pejatuh hati yang begitu ambisius, begitu memaksa, dan sangat berlebihan. 

Semuanya ingin mengerti takarannya, semuanya ingin dibiasakan, semuanya tidak ingin berlebihan. Lalu, seperti apa yang sewajarnya?

Untuk bisa dicintai seseorang harus mampu membangun kesempurnaan dirinya untuk bisa mensejajarkan kritera yang lebih unggul dari yang unggul. Mungkin berlebihan tapi bukankan umumnya perempuan selalu melebih-lebihkan? Atau menyembunyikan kejelekan yang pasti kita punya. Memalsukan atau merahasiakan. Demi terpampang indah namanya untuk seseorang disana, tanpa lecet, tanpa luka, tanpa kusut sedikitpun; terlihat lebih menarik.

Ketika seseorang datang memuji, sering bertemu bahkan setiap hari, disanalah mata bertemu mata yang lain, 
disanalah tangan menjabat tangan yang lain. jarak menghampiri 2 meter, melempar senyum dengan harapan mendapat balasan yang lebih manis. Meski terlihat canggung atau merasa risih. Disanalah aku merasacukup pantas untuk dicintai, dari sisi lain akupun merasakan kesukaran dihati, risih atau semacamnya. Disanalah aku merasa cantik dan mewarni.

Tapi salah, bahkan aku terlihat bodoh untuk dicintai. Aku terlihat bodoh untuk mengetahui. Dan aku terlihat bodoh untuk menjawab secepat ini. Dengan sangat membenci aku benci dicintai, dengan sangat membenci aku benci perasaan hati ini. Dengan sangat membenci aku benci siapapun yang mencintaiku. Karena setelahnya akan ada jarak yang jauh lebih sakit dari kata benci; mungkin memusuhi. Mendekat lalu menghindar, datang kemudian pergi, mengungkapkan lalu menolak.

Tentangnya, kabar kanan kiri sudah kudengar. Tentangnya, kebiasaan jelas-jelas aku melihatnya. Dan tentangnya, sifat disana sangat hafal aku membacanya. Kali ini bukan lagi menduga-duga. Kali ini bukan lagi mengira-ngira. Semuanya terlihat jelas lewat matanya; tulus, meyakinkan, penuh harapan namun lekas membenci. Mengata-ngata, bercuap-cuap, lalu meninggalkan. Semuanya tersimpan banyak lewat ingatanku.

Kemudian, aku membencinya. Aku benci penjelasan rinci hati ini. Aku benci tidak ada yang peduli, aku benci tidak ada yang percaya, aku benci hanya aku yang merasakannya. Kemudian, aku benci harus menjawab, aku benci harus membenci perasaan sendiri, dan aku benci hadirnya waktu telah menyelipkan kisah yang terlanjur rumit dihati, tanpa tega.

Kalau bisa aku tadahkan hujan yang jatuh, aku rela sebagai wadah tampungannya, agar tidak terlihat bersedih di permukaan. Kalau bisa aku tuduhkan air mata yang menetes, aku siap memcacinya, agar suatu saat mata ini Nampak lebih tegar untuk meluncurkan sakit yang mendalam.

Jam disana terlanjur memeluk pada dindingnya. Detik disana terlanjur berputar bersama menitnya. Perkataanku terlanjur tajam mengiris hatinya, tatapanku terlanjur kejam membuang tatapannya, semuanya tidak bermaksut kecuali membuang waktu yang mengulas kisah tiada henti.

Aku sudah menyangka klimaks dari semua perbuatanku. Aku sudah menduga kisah tertutup perasaan itu. Aku sudah percaya suatu saat cepat kembali bukan untuk diriku. Dan aku percaya perasaan semewah itu tidak aka nada lagi yang melebihkan darinya. Semua karena  perasaan ketenangan hati.
Disisi lain kebaikan selalu mengarah untukku, mulai mempercayainya, mulai menerimanya, lalu semakin memikirkannya.

Terang bulan saat itu menyaksikan semua senyuman yang aku lambungkan tanpa takut sedikitpun. Kuning cahayanya mengundang tatapan syukur untuk-Nya.

Kedekatan di bulan itu, cukup lama kami lakonkan. Bertukar sudut pandang, bertukar pengalaman,bertukar keinginan dan banyak bercerita. Mungkin sangat jarang untuk aku jabarkan diatas lembar putih yang seharusnya tetap memutih. 

Kamis, 15 Agustus 2013

Hujan yang angkuh

February 2, 2013 at 5:08am
By : Dahlil Tiyas Prabandari

Ku biarkan kakiku melangkah menuju tempat dimana entah. Mencoba menghilangkan sejenak penat yang selama ini berkerubung lantaran beban skripsi yang harus ku selesaikan dalam waktu 2 bulan ini. Bersender merilekskan pada luas putih yang menyeruak ombak sampai letih benar-benar tersterilkan.

Terik menyengat kulit dan menyambut panasnya dengan sangat menyilaukan pandanganku. Sedikit menoreh sebelah sudut kiriku. Disana aku terus memaku sepasang insan yang kembali membuatku tersendu. Aku luncurkan senyum haru sampai menitikkan air mataku.

Entah kapan mereka mengentaskanku pada situasi melankolis ini. Sambil mengutik kedua tanganku sampai merasakan ganjalan pada benda yang tersemat pada jari manis kananku. Seketika melepaskan pada porosnya lalu menatap setiap inci cerita yang terpaut pada benda putih lingkar kecil ini.

Kembali tersirat pada pikiran yang kini mengusikku. Terlintas bayangan seseorang yang dulu menyematkan cincin ini pada jemariku. Acapkali ku tuahkan sebutannya lagi seperti terdorong ke dalam masa silam nan kelam dan tersungkur pada jurang kepiluan. Aku memang salah menepis cita cintaku yang terlampau jauh. Sejauh mana aku hempaskan asa yang berasa selalu saja tak bertepi pada hilir. Kalau seperti ini kapan aku berjalan ke roma! Gerutuku.

***

Kini dalam genggaman eratku menuju air menerjang kaki yang semakin selutut. Aku pejamkan kedua mata lalu meyakinkan tindakanku kini. Aku menghela nafas perlahan lalu mengayunkan tangan kananku sambil melontarkan benda yang sempat ku eratkan. Bulir ini kembali menetes sampai jatuh bercampur dengan asinnya air laut.

Senja masih kupijakkan sampai sunset menampak jelas indahnya. Pada suasana pantai sundak yang semakin sunyi aku berdiri melawan arah ombak yang mendesir permukaan sambil merentangkan kedua tanganku merasakan semilirnya dan aroma ketenangan yang baru saja menelusuri sekejur tubuhku. Lalu kembali memfokuskan panorama didepanku.

‘Ckrrik’

Aku merasa ada kilatan lampu flash dari sudut kananku, tampaknya seseorang mengambil fotoku diam-diam. Baru saja aku mulai menikmati ketentraman suasana hati dan batinku. Rasanya seperti merenggut sehela nafas dariku. Kuacuhkan saja terus terpejam menekuri ketenanganku.
‘’ Jangan memotretku lagi! ‘’ Tandasku langsung terdiam.

***

Hujanmu menghujamku
Deras tibamu sekilat tinggalkanku
Menyisakan rintik ribuan belati
Menunggu redah entah dirimu jumpa.
Cintaku adalah hujan
Bersemayam pada lapang tandus
Menyerap gersang sampai merindu kemarau. Aku bergeming.

***

Merasakan langkah yang semakin mendekatiku. Bak dentuman keras yang menghalau penghayatanku. Sayup-sayup ku dengar helaan nafas yang merdu tepat disampingku. Sedikitpun tak berniat menanggapi tingkah yang mungkin bertambah meningkat.

‘’ Kau boleh menghapusnya. ‘’

Aku mendengus kesal lantaran tandas saja tak cukup menjauhkan gerak tubuhnya terhadapku. Kini kududuki hamparan pasir yang terlanjur memutih. Melihat geriknya menyodorkan kamera SLR padaku.

‘’ Simpan saja. ‘’ Jawabku singkat.

Lalu mensejajarkan posisi singgahku sambil memotret sunset yang semakin menghilang. Terus berkutik seperti seorang proporsional seantero jagad. Sempat kucuri celah untuk menyimaknya, berpenampilan simple nan elegan dengan rambut menjuntai sebahu sontak aku terbelalak menyadarkan kesamaan atas keduanya. Lalu melangkah menjauh dari pandangku.

***

Hiruk-pikuk suasana kelas sangat menjenuhkan sampai ku lampiaskan dengan toresan tinta pada selembar kertas buram berisikan celotehan dalam relung hatiku. Kata demi kata yang sudah terlabuh dengan rapih tersusun menjadi notes sajak ku.

Bebas tanpa arah kau lakukan
Tak peduli pada siapa kau tindaskan.
Lama cinta menghinggapi keyakinan.
Tapi satu langkahmu sama dengan beribu sayatku.
Masihkah layakmu kutunggu ?

‘’ Kalau suka PING!! Ya. ‘’ Ku kirim via broadcast. Mengharap balasan pada insan yang terlanjur menjadi perempuan.

PING!!

Sempat ku lambungkan senyum dengan palung kecil nan dalam di pipiku. Ku sangka perempuan yang paling
merespon kata kegalauan yang teramat, tapi salah. Ku ulurkan kembali senyum itu setelah mengetahui balasan dari akun dengan nama “Hafidz Pancasinggih.’’ kemudian terkekeh membaca chat box yang dia kirim bertulisan :

‘’ tak selamanya menunggu itu layak.’’

Aku tak menggubris pesannya, lantaran perkataan itu menyepelekan dengan sangat singkat seperti pahlawan kesiangan yang tak tau-menau situasi yang kualami.

‘’Invite aja 23261042, orang yang ramah itu Indah.’’ Lanjutnya memerintahku.

***

Kini aku duduk bersandar diantara keramaian terminal A1 kedatangan domestik, dengan memampangkan seribu
celah bahagia dari mimik wajahku terus melirik pada arloji yang terpasang dipergelangan tanganku. Menunggu wanita yang kini menjabat sebagai kekasihku selama 2 bulan ini. Sambil mengingat perkenalan yang cukup membuatku tersentak. Masih sangat mengingatnya.

Sempat aku menguras otakku dalam-dalam pasalnya keganjalan pada DP yang jelas terpampang bukanlah perempuan melainkan seorang pria bahkan aku merasa mengenalnya. Dengan beribu pertanyaan yang terlibat dalam perkataan itu telah memintaku kembali memikirkan bait yang melambungkan kata ‘Indah yang ramah’ cukup membuatku bulat menambahkannya pada kontak BBM-ku. setelahnya lampu LED ponselku langsung berkedip-kedip dan terkesiap aku membacanya.

‘’terima kasih sudah invite. Salam kenal aku Indah.’’

‘’ sama-sama ndah. Aku Dimas.’’ Kataku segera.

Perkenalan pertama yang biasa kulakukan. Seterusnya hanya pertemanan biasa sampai perbincangan yang semakin pribadi. Sampai kini aku merasa benih-benih cinta kian menjalar pada hati yang kembali terpenjara pada kata cinta yang membelenggu masing-masing insan, terpanah sampai terkulai dengan lemasnya hingga terjatuh pada curam juram asmara. Sampai kami merencanakan pertemuan pertama.

***

Ditemani bias lampu yang memancar sinarnya yang kunang-kunang. Aku melipat sila dudukku disebuah bibir pantai sundak kembali aku tuahkan sebuah cerita. Aku lontarkan jauh-jauh tatapanku pada garis pantai yang mendesir angin sampai permukaan.

‘’ Hai! Kau sedang apa? ’’

‘’ Menunggu seseorang.’’

Singkatku menjawab kalimat yang telah menyekat perandaianku. Tanpa melirik sedikitpun pada sumber suara yang kudengar.

‘’ Dimas ya?’’Langsung menongkak kearahnya.

‘’ Iya, Indah? ‘’ Lanjutku menebar palung kecil pada rekahan senyumku.

Langsung mensejajarkan posisi dudukku. Menatap lurus pada riak gelombang yang terombang semakin menerjang hamparan pasir dengan kilau kristalnya. Berebut udara yang kian terasingkan oleh asin yang menepis.
Wajahnya memang tak asing lagi bagiku, kurasa dia memang pernah kulihat saat pertemuan pada bibir pantai saat itu. Seseorang yang sengaja memotretku karena posisiku yang menyatu pada objek. Lesung pipi yang memalung pada pipinya yang merona membuatku semakin terpesona.

Hembusan angin membiarkan kami tetap mempertahankan bungkaman di mulut masing-masing. Hingga tangan menyapu pada kedua lengan yang tidak tetutup oleh sehelai kain tebal. Sampai aku memutuskan kata itu sekarang.

‘’ Ndah, mau nggak jadi pacarku? ‘’

Kataku melesat dengan cepatnya, mungkin aku menakutinya sampai membuatnya sedikit bergidik. tanpa ada aba-aba yang memperindah keputusanku. Sungguh aku sudah tak kuat berlama-lama terpasung pada gulita yang menerkam benih cinta yang lalu. Aku memang tak lihai dalam hal merakit waktu mungkin detik ini waktu yang merakitku kembali melonjakan hasrat rasa yang dapat mengelabui keluh kesah asaku.

Namun derasnya pandai meminta waktuku. Kembali datang menyambar kesempatan atau mungkin bentuk derai yang menuju pada suasanaku. Tubuhku menjadi payung bagi hujan yang berlarian menuju kepalanya mencari tempat persinggahan nan nyaman. Setelahnya sampai kurasa genggaman semakin menguatkan eratannya, menoreh pada lengkung wajah anggun yang sedang menganggukan dengan tarikan di sudut bibirnya yang mengisyaratkan keberhasilan waktu melihaikan cita cintaku kini.

Permadani hitam menghampar luas di altar langit
Gemerlap malam memercik bait cinta
Menimbun banyak benih yang terus bersubur dalam dada
Kini bersama hujan dengan rintiknya
Kembali angkuh menyapu puing-puing derita menjauh pada diri
Silih berganti rasi-rasi hujanmu melukis segurat senyum pada bibir lampauku
Melambung dengan manisnya sampai tersemai lagi dalam cita cintaku.
 


Hujanmu masih menghujamku

January 23, 2013 at 9:40am

Hujanmu menghujamku
Hujan,
Aku dan dia adalah insan dalam satu barisan.
Aku bergaris dia begitupun katanya.
Kau datang membawa hasrat rindu sedang terbang jadi randu.
***
Memang tak dapat ku elakkan lagi benakku terlanjur beranak parasmu. Semakin ku kembangkan lagi tarikan sudut bibirku saat itu. Dalam malam aku tuahkan sebutanmu sampai larut aku pejamkan tetap sama. Dia bersama waktu terus menghabis dengan peristiwa-peristiwa yang terekam selama 5 tahun menyalin sebuah jalin. Tapi entah halang bagiku kelak, hanya harap semakin kuat membawanya bersama duduk berikrar. Aku bergeming. Esok saat mentari mulai beranjak dari singgahannya akan kubuang rindu hati dalam ruang. Lalu terpejam.

sinar menyorot tajam dari sudut kaca jendelaku yang terbuka lebar dari tirainya lalu cepat  terhalau kedua telapak tanganku membenahkan penyinaran yang terlalu mengeksposku . Aku masih terbungkus rapih dengan selimutku berdiam sebentar melirik sedikit ke sudut meja yang berkedip. Terjelengkat duduk sembari  menyerngit segurat senyum setelah membaca notif BBM-ku.

Sekilas kupikirkan yang tak pernah terpikirkan, dia adalah kilasanku, selama aku menjalin apa yang ku nilai terhadapnya berbeda dengan notif yang ku tatap intens saat ini, tidak pernah dia merindu sampai kabar terdengar sebelum aku. Bahkan hujan sebelum terlelap aku baru melotarkan sebutanmu. Mungkin debit sayangnya bertambah tinggi berenda rindu yang bergulir dari waktu ke waktu.

“aku menunggumu.’’   Segera ku balas.

 ***

Malam mengahampar luas di altar langit dengan bintik-bintik berkilau yang menghamburnya, terabasan ombak berkejap-kejap memecah hening. semilir angin laut terus menghempas dingin sampai tulang rusuk hingga mendesir darahku. Pada hamparan pasir pantai sundak aku duduk menekuk lutut sampai tangan berpangku bahu terhadapku. Aku kira amora, padahal memang amora. Langsung mensejajari posisi singgahku.

Sekarang hening yang memecah riak ombak. Seperti baru saling mengenal terus mendalami keheningan. Sampai tidak terasa telah menyandarkan kepala. Berdua saling mengkhusukkan tatapan pada laut yang mengalunkan sebuah nada. Sebutanku hanya dijawab senandung sederhana.

“hmm?’’

“ada apa?’’ pertanyaanku direnggutnya kembali dalam diam. Malah seperti pertanyaan yang berbalik menghujamku. Aku semakin terjelma dalam keraguan. Lalu mencoba mencengkram kuat jemarinya.

“mas, aku minta putus.’’

Terngiang jelas di telingaku. Sontak mataku membulat. Aku benar-benar tidak memikirkan apa yang seharusnya aku pikirkan. Mungkin ruangnya tidak dapat menampung banyak debit kerinduan yang melumer atau ini bentuk luapan kerinduan yang membuncah?  Ku kira kita dapat menjadi kata. Tapi salah!

“ kenapa ra ?’’ timpalku tidak percaya.

Aku merengkuh bahunya terus menatap intens sampai manik matanya kini mulai berair.

“pesawatku take off pukul 08.15 aku menunggumu, aku harap kau mengantarku.’’ Kalimatnya lalu tangan membekap mulut menahan luapan tangisnya.

Sungguh aku tidak menduga garis ini. Dadaku serasa teriris tipis-tipis dengan sembilu paling tajam. Luka disana kian asin oleh angin laut yang mendesir lembut namun menyeretku dalam kerapuhan. Lidahku  kelu, tubuhku kaku, hatiku membeku. Detik demi detik menjadi menit dari menit ke menit hingga berjam-jam bahkan hampir setiap hari sampai 5 tahun lamanya hubunganku dapat kandas sia-sia bertukar asa.

Kini diam telah merenggut kehangatan. Berhadap ku kuatkan untuk menopang, melihat mata yang kini sayu terus merunduk  tak mampu membalas tatapan mataku. Lembar yang telah melebur bercampur isak merasuk dalam hati melumpuhkan olah pikirku. Belum sempat aku mengatakan sesuatu tapaknya meninggalkan jejak padaku.

aku mencoba menahannya ya aku sangat menjaganya, kutarik nafas dalam-dalam lalu aku hembuskan perlahan  namun nihil aku tidak bisa membendungnya, bulir-bulir air mataku jatuh, aku menangis sejadi-jadinya, jari-jemariku mengepal banyak butir pasir sekelilingku. Tak tahan aku ingin melepasnya, teriakan yang mampu mengurangi  kerapuhanku. Lalu dengan keras aku luapkan kemarahanku memecahkan keluh labuh dalam dadaku.

***
Pagi ini matahari tak melihatkan mentarinya. Berselimut hitam tebal bersama air yang bercucuran dengan derasnya. Tampaknya lembab seperti sembab pada mataku. Nampaknya semalam aku bermimpi buruk.
PING!! Terkesiap aku membaca pemberitahuan BBM-ku, malah aku mendengus kesal  pasalnya yang muncul hanya pesan tidak penting. Dia yang ku harapkan malah kabar bertiup entah kemana rimbanya.
Masih menunggu entah apa yang pasti. Sempat terhempas sebersit kecewa berdominan asa semakin meragukan langkah tidak melakukan tingkah. Kusakukan kembali ponselku lantas menekuri kesedihan yang kian jadi. Aku terkekeh saat menoreh pada detik yang berdinding, langsung mencari tapak yang dia jejakkan tanpa memperdulikan pakaian yang kukenakan tanpa memperdulikan derasnya hujan yang mengguyur.

Aku melaju dengan kecepatan melebihi rata-rata . Aku mengejar waktu tanpa memperdulikan keselamatanku, mencoba menahan langkahnya agar tingkah tidak jauh disana. Kembali kebahagiaan tidak memihak padaku, aku menghubungi ponselnya tapi tidak ada jawaban, message aku pun tidak dibalasnya, BBM-nya tidak aktif. Pikiranku kacau kulampiaskan pada pedal gas mobilku mempercepat kelajuan. Tiba lampu LED berkedip lalu bergegas membaca mention yang masuk pada account-ku.

‘’penerbangan Chicago.’’

Harapanku menipis terlekang waktu. Kumohon aku hanya ingin menjamah tangannya untuk terakhir ini, jika tidak aku harap dapat melihatnya melontarkan senyum sebagai salam perpisahan bagitupun aku. Sayang aku terlambat mencerna isi hatiku. Sedikit mengerang menahan sakit lantaran hantaman keras pada kepalanku.

***
Tiba pada Bandara Adi Sutjipto, Yogyakarta. Aku terus berlari sambil melihat sekelilingku. Tangan ku meremas di bagian dada dengan simbah air yang terus mengalir lewat celah bibirku. Berulang  menyebut kata Chicago  sambil menunjuk pada papan informasi penerbangan. hingga mendapatkannya kembali berlari mengejar waktu 5 menit. aku terus berpacu kencang menuju terminal D2 keberangkatan luar negeri.

senandung syahdu dari dadaku berdetak sangat kencang bak genderam mau perang. Agak merukukkan badanku dan mengatur nafasku sebentar . Sampai tatapanku sudah tak asing lagi pada langkah lamban gadis berkeperawakan tinggi dengan rambut menjuntai sebahu lalu berteriak lantang untuk menghentikan asumsinya. Gerak tubuhku di tahan sangat kuat saat aku memaksa ingin menerobos. Ketakutanku semakin melonjak melihatnya memasang headset pada telinganya lalu mengacuhkan histerisku dan semakin berlalu dari jauh pandangku.

Jejak-jejak resah aku tapaki merekahkan amarah yang menggeram. Tidak berhasil meredam gejolak di ulu hatiku. Aku berjalan gontai pada padang luas kemudian melemas hingga tak kuasa menopang berdiriku. Aku diterpa cerita yang menuntut derita. Pada luas apa bulir ini ku tadahkan, Pada lapang apa kepala ini ku sandarkan! Aku terus menghanyut dalam isak seketika ambruk serempak pada deras yang kembali mengguyur.

Hujan, hadirmu membasahi alamku
Debitmu berduyun membawa aliran tangis deras
Lewat sela mataku
Isak tak dapat ku bekap
Sesal terus menghujam
Kepal tak dapat ku eratkan lagi
Lutut hanya bersimpuh pada luas sekelilingku. Aku bergeming.

lampu LED kembali berkedip mengisyaratkanku segera membaca pemberitahuan yang ternyata hanyalah Broadcast message yang berbunyi :

"kau penunda suka menunda makalah sesal tak pernah tertunda."
 

puber-puber cabe rawit

PUBER-PUBER CABE RAWIT
Dahlil Tiyas Prabandari
“Siap?”

Senyumku tiba mendarat lebih manis. Dengan sangat apik aku mengatur rasa sabar yang terbalut penasaran itu. Namun tetap saja dia meragu, semakin asyik menekuri pikirannya yang mungkin terlampau jauh. Entah setan apa yang menggodanya padahal bukan apa ini tetaplah permainan! Sampai bibir mungilnya itu nampak berbicara pelan dan agak lama. Sedang apa dia?

“Mungkin dia memanjatkan doa!”

Lugas kalimat sari. Perempuan berperawakan tinggi persis dengan prestasinya yang tiba-tiba melonjak tinggi akhir ini.

“Suuuuttt….diam Sari!” Potong Nisa cepat.

Hingga suasana benar tersterilkan disana. Tak satu pun kalimat terkoar setelahnya. Sampai tersisa antara yang itu, nampak serius mengerjakan dengan guratannya masing-masing. Begitupun aku, sibuk memikirkan apa yang akan kutulis untuk pena ini.

“Hmmm…Cita-cita…Curahan hati…atau bahkan Dambaan hati sekalipun bebas saja bukan, tetap RAHASIA!”
Cemas kalimat Nadia dibalas anggukan Devani.

“Tapi ini danau kecil! kalau mengambang terus melabuh dipinggir bagaimana?!” Tambah Nisa dengan tatapan khas yang dibuatnya.

Ia mengernyitkan dahi tak mengerti ketika mendapatkan teman-temannya lantas tertawa terbahak-bahak. Lengkung wajah takut ala Nisa memang cukup menggelitikkan perut kami, entah kenapa hanya dia yang punya? Eits.. atau memang rahasia disana teramat mewah untuk dijabarkan diatas air tenang ini?

“Apa?! Kenapa?! Lucu ?!” lantang Nisa mengentaskan dengan agak geram.

“Kamu berani menyentuh sesuatu yang jelas mengambang di air?”  Kalimat Sari kembali memecah gelak tawa.

Desir angin di hari yang terik ini cukup mendapatkan kami menyapu wajah masing-masing, beruntungnya kami berlindung dibawah pohon besar yang cukup teduh. Di waktu yang agak senggang setelah pulang sekolah, kami haturkan lelah pelajaran itu sembari bermain sebentar di rindangnya pohon yang sengaja menghadap danau. Tidak begitu jauh, masih aman untuk si seragam putih merah ini.

“Masih ada yang ganjal di hati, terus?”

Keraguan Nisa semakin berlanjut, sementara mereka semakin dalam melahap naskah sendiri.

Entah seperti apa permainan mereka yang seumuran dengan kami. Entah siapa yang mengganggap kami dewasa atau sebaliknya tapi kenyataannya kami layaknya orang tua yang kekanak-kanakan atau bahkan masa bahagia kurang kecil (?) Begitulah kami menyimpulkan masa puber. Seperti ini salah satunya; Mengganti bentuk diary menjadi catatan kertas kecil diatas danau, entah namaya konyol, kurang kerjaan  atau sebangsanya tapi banyak orang suka menjadikannya sesuatu yang indah bahkan romantic. What Ever!

“Ayolah Nis! Disini Cuma menulis apa rencana kamu setelah lulus SD, uneg-uneg, atau bahkan perasaan yang kamu pendem selama ini. It’s OK…. Se-pinter pinternya kamu saja!” Tegas Nadia yang mulai sebal.

Malah Nisa memicingkan matanya. Mungkin ekspresi seperti itu yang aku tuliskan untuk pena ini, sebagai catatan hal terunik yang pernah aku lihat untuk detik ini! Mereka semua menggemaskan.

Belum sampai sepuluh menit, aku menangkap mata mata nakal. Berhadapan saling membalas interaksi, begitupun pesan gerak bibir mereka, seperti mengaba-aba namun aku tak menggubris adegan unik itu, cukup kuumpatkan senyum kecil saja.

“Selesai! Perahunya?” Umbar Devani membuat semuanya terpesona.

“Bagus van….bagus perahu kamu.” Takjub sosok Sari sembari menyumbang tepuk tangan meriahnya.

“Bagus apaan sih Sar…yang selesai itu tulisannya, bukan perahu!” Jawabnya kemudian menepuk jidat sendiri.

KreekK…T0Ok…ToooKk…took….KreEkkEk…

Kami lantas tertawa terbahak-bahak, menyaksikan ulah seseorang yang jenaka atau bahkan ajaib. Dengan perawakan cukup tinggi, putih jugak sipit bak orang luar negeri tapi dapat ia tutupi dengan segala kesederhanaannya sampai benar-benar pangling aku menganggapnya orang cantik yang berbakat dalam perkulian, Yap…bakat pahat-memahat, pukul-memukul memang tak diragukan, mungkin inilah rahasia yang membuatnya gundah gulana karena tak ingin dituliskannya, atau mungkin dia tak mau mengumbar-umbarkan bakat proporsionalnya(?)

“Nis, itu bakal apa?” tanya salah seorang yang begitu penasaran.

“Perahu buat kertas kita! Baguskan idea gue?” Semangat Nisa yang sangat ambisius menyelesaikan program pribadinya; Perahu coklat yang agak tebal juga jatuh tak jauh dari pohonnya, masih di sekitar danau. Cukup brilliant untuk detik ini, menyumbang senyum lalu menekuri tulisanku.

Sampai waktu yang mengindahkan beberapa jam sebelumnya. Melelahkan benar, tapi untuk hasil yang memuaskan hati kenapa tidak? Kami sangat bahagia diatas tenangnya air yang baru kami berangkatkan; menyaksikan perahu coklat kami yang melaju dengan sentosa, semoga dermaga disana tidak begitu jauh untuk titik lelah perahu kami berlayar, seterusnya sampai dermaga berikutnya, walau di dasar sekalipun letaknya dermaga terakhir itu semoga tak akan bersandar terlalu lama sampai benar-benar menemui tempat labuh untuk melempar jangkar dengan kokohnya. Begitupun perumpaan perjalanan kami si seragam putih merah; puber-puber cabe rawit.

Tiba aku yang memicingkan mata ini, mungkin mereka yang tidak tau keberadaan perahu itu sendiri, kulihat berlabuh sangat terpinggirkan setelah hari itu. Hanya melepas senyum kecil se-sering mungkin di atas kertas basah yang mulai luntur dengan waktu.

Aku tak sangka alasan mereka berdua saling bertukar kerdipan mata, hanya membuatku semakin memecah gelak tawa; sandi kotak yang mereka jabarkan di atas kertas putih yang mulai kusam. Pikirku kenapa tidak aku menggunakan sandi rumput atau bahkan morse (?)

Sayang, hanya perahu milikku yang sedari itu aku tak melihatnya, diantara perahu mereka yang berlabuh saling berdekatan. Hingga sekarang, aku tak tau bersandar dimana perahu coklat itu. Yang jelas, perjalanan dan semangat kami akan terus berlayar menghadap dunia yang luas.

“SIAP!”

Hingga kuakhiri tatapan nanar-ku sembari menghadap pada hangatnya sekitar sini untuk memelukku, danau.

END