Kamis, 15 Agustus 2013

Hujanmu masih menghujamku

January 23, 2013 at 9:40am

Hujanmu menghujamku
Hujan,
Aku dan dia adalah insan dalam satu barisan.
Aku bergaris dia begitupun katanya.
Kau datang membawa hasrat rindu sedang terbang jadi randu.
***
Memang tak dapat ku elakkan lagi benakku terlanjur beranak parasmu. Semakin ku kembangkan lagi tarikan sudut bibirku saat itu. Dalam malam aku tuahkan sebutanmu sampai larut aku pejamkan tetap sama. Dia bersama waktu terus menghabis dengan peristiwa-peristiwa yang terekam selama 5 tahun menyalin sebuah jalin. Tapi entah halang bagiku kelak, hanya harap semakin kuat membawanya bersama duduk berikrar. Aku bergeming. Esok saat mentari mulai beranjak dari singgahannya akan kubuang rindu hati dalam ruang. Lalu terpejam.

sinar menyorot tajam dari sudut kaca jendelaku yang terbuka lebar dari tirainya lalu cepat  terhalau kedua telapak tanganku membenahkan penyinaran yang terlalu mengeksposku . Aku masih terbungkus rapih dengan selimutku berdiam sebentar melirik sedikit ke sudut meja yang berkedip. Terjelengkat duduk sembari  menyerngit segurat senyum setelah membaca notif BBM-ku.

Sekilas kupikirkan yang tak pernah terpikirkan, dia adalah kilasanku, selama aku menjalin apa yang ku nilai terhadapnya berbeda dengan notif yang ku tatap intens saat ini, tidak pernah dia merindu sampai kabar terdengar sebelum aku. Bahkan hujan sebelum terlelap aku baru melotarkan sebutanmu. Mungkin debit sayangnya bertambah tinggi berenda rindu yang bergulir dari waktu ke waktu.

“aku menunggumu.’’   Segera ku balas.

 ***

Malam mengahampar luas di altar langit dengan bintik-bintik berkilau yang menghamburnya, terabasan ombak berkejap-kejap memecah hening. semilir angin laut terus menghempas dingin sampai tulang rusuk hingga mendesir darahku. Pada hamparan pasir pantai sundak aku duduk menekuk lutut sampai tangan berpangku bahu terhadapku. Aku kira amora, padahal memang amora. Langsung mensejajari posisi singgahku.

Sekarang hening yang memecah riak ombak. Seperti baru saling mengenal terus mendalami keheningan. Sampai tidak terasa telah menyandarkan kepala. Berdua saling mengkhusukkan tatapan pada laut yang mengalunkan sebuah nada. Sebutanku hanya dijawab senandung sederhana.

“hmm?’’

“ada apa?’’ pertanyaanku direnggutnya kembali dalam diam. Malah seperti pertanyaan yang berbalik menghujamku. Aku semakin terjelma dalam keraguan. Lalu mencoba mencengkram kuat jemarinya.

“mas, aku minta putus.’’

Terngiang jelas di telingaku. Sontak mataku membulat. Aku benar-benar tidak memikirkan apa yang seharusnya aku pikirkan. Mungkin ruangnya tidak dapat menampung banyak debit kerinduan yang melumer atau ini bentuk luapan kerinduan yang membuncah?  Ku kira kita dapat menjadi kata. Tapi salah!

“ kenapa ra ?’’ timpalku tidak percaya.

Aku merengkuh bahunya terus menatap intens sampai manik matanya kini mulai berair.

“pesawatku take off pukul 08.15 aku menunggumu, aku harap kau mengantarku.’’ Kalimatnya lalu tangan membekap mulut menahan luapan tangisnya.

Sungguh aku tidak menduga garis ini. Dadaku serasa teriris tipis-tipis dengan sembilu paling tajam. Luka disana kian asin oleh angin laut yang mendesir lembut namun menyeretku dalam kerapuhan. Lidahku  kelu, tubuhku kaku, hatiku membeku. Detik demi detik menjadi menit dari menit ke menit hingga berjam-jam bahkan hampir setiap hari sampai 5 tahun lamanya hubunganku dapat kandas sia-sia bertukar asa.

Kini diam telah merenggut kehangatan. Berhadap ku kuatkan untuk menopang, melihat mata yang kini sayu terus merunduk  tak mampu membalas tatapan mataku. Lembar yang telah melebur bercampur isak merasuk dalam hati melumpuhkan olah pikirku. Belum sempat aku mengatakan sesuatu tapaknya meninggalkan jejak padaku.

aku mencoba menahannya ya aku sangat menjaganya, kutarik nafas dalam-dalam lalu aku hembuskan perlahan  namun nihil aku tidak bisa membendungnya, bulir-bulir air mataku jatuh, aku menangis sejadi-jadinya, jari-jemariku mengepal banyak butir pasir sekelilingku. Tak tahan aku ingin melepasnya, teriakan yang mampu mengurangi  kerapuhanku. Lalu dengan keras aku luapkan kemarahanku memecahkan keluh labuh dalam dadaku.

***
Pagi ini matahari tak melihatkan mentarinya. Berselimut hitam tebal bersama air yang bercucuran dengan derasnya. Tampaknya lembab seperti sembab pada mataku. Nampaknya semalam aku bermimpi buruk.
PING!! Terkesiap aku membaca pemberitahuan BBM-ku, malah aku mendengus kesal  pasalnya yang muncul hanya pesan tidak penting. Dia yang ku harapkan malah kabar bertiup entah kemana rimbanya.
Masih menunggu entah apa yang pasti. Sempat terhempas sebersit kecewa berdominan asa semakin meragukan langkah tidak melakukan tingkah. Kusakukan kembali ponselku lantas menekuri kesedihan yang kian jadi. Aku terkekeh saat menoreh pada detik yang berdinding, langsung mencari tapak yang dia jejakkan tanpa memperdulikan pakaian yang kukenakan tanpa memperdulikan derasnya hujan yang mengguyur.

Aku melaju dengan kecepatan melebihi rata-rata . Aku mengejar waktu tanpa memperdulikan keselamatanku, mencoba menahan langkahnya agar tingkah tidak jauh disana. Kembali kebahagiaan tidak memihak padaku, aku menghubungi ponselnya tapi tidak ada jawaban, message aku pun tidak dibalasnya, BBM-nya tidak aktif. Pikiranku kacau kulampiaskan pada pedal gas mobilku mempercepat kelajuan. Tiba lampu LED berkedip lalu bergegas membaca mention yang masuk pada account-ku.

‘’penerbangan Chicago.’’

Harapanku menipis terlekang waktu. Kumohon aku hanya ingin menjamah tangannya untuk terakhir ini, jika tidak aku harap dapat melihatnya melontarkan senyum sebagai salam perpisahan bagitupun aku. Sayang aku terlambat mencerna isi hatiku. Sedikit mengerang menahan sakit lantaran hantaman keras pada kepalanku.

***
Tiba pada Bandara Adi Sutjipto, Yogyakarta. Aku terus berlari sambil melihat sekelilingku. Tangan ku meremas di bagian dada dengan simbah air yang terus mengalir lewat celah bibirku. Berulang  menyebut kata Chicago  sambil menunjuk pada papan informasi penerbangan. hingga mendapatkannya kembali berlari mengejar waktu 5 menit. aku terus berpacu kencang menuju terminal D2 keberangkatan luar negeri.

senandung syahdu dari dadaku berdetak sangat kencang bak genderam mau perang. Agak merukukkan badanku dan mengatur nafasku sebentar . Sampai tatapanku sudah tak asing lagi pada langkah lamban gadis berkeperawakan tinggi dengan rambut menjuntai sebahu lalu berteriak lantang untuk menghentikan asumsinya. Gerak tubuhku di tahan sangat kuat saat aku memaksa ingin menerobos. Ketakutanku semakin melonjak melihatnya memasang headset pada telinganya lalu mengacuhkan histerisku dan semakin berlalu dari jauh pandangku.

Jejak-jejak resah aku tapaki merekahkan amarah yang menggeram. Tidak berhasil meredam gejolak di ulu hatiku. Aku berjalan gontai pada padang luas kemudian melemas hingga tak kuasa menopang berdiriku. Aku diterpa cerita yang menuntut derita. Pada luas apa bulir ini ku tadahkan, Pada lapang apa kepala ini ku sandarkan! Aku terus menghanyut dalam isak seketika ambruk serempak pada deras yang kembali mengguyur.

Hujan, hadirmu membasahi alamku
Debitmu berduyun membawa aliran tangis deras
Lewat sela mataku
Isak tak dapat ku bekap
Sesal terus menghujam
Kepal tak dapat ku eratkan lagi
Lutut hanya bersimpuh pada luas sekelilingku. Aku bergeming.

lampu LED kembali berkedip mengisyaratkanku segera membaca pemberitahuan yang ternyata hanyalah Broadcast message yang berbunyi :

"kau penunda suka menunda makalah sesal tak pernah tertunda."
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kak boleh tanya?